Shalat Dengan Anggota Aurat Terbuka


Shalat Dengan Anggota Aurat Terbuka kesalahan jenis ini, mereka  yang mengenakan celana ketat sehingga lekuk tubuh  auratnya tergambar dengan jelas dan bahan celana ketat yang di pilih itu adalah bahan tipis sehingga menerawang. Inilah kesalahan yang di maksud.
shalat dengan anggota aurat terbuka di samping memakai celana, dia juga mengenakan kemeja pendek. Ketika ruku’ ataupun sujud, kemeja yang semula menutup celana terangkat ke atas kerena terlalu pendek. Pada  waktu itulah punggung dan sebagian anggota  auratnya  terlihat. Jika demikian, maka aurat yang semula di tutup menjadi terbuka, sedangkan di sedang ruku’ atau sujud bersimpuh di hadapan  Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika memohon perlindungan kepada Allah dari perbuatan bodoh, dan si pelaku kebodohan itu sendiri. Karena terbukanya aurat pada kondisi seperti itu bisa mengakibatkan shalatnya menjadi batal. Dan sebab utamanya adalah celana yang berasal dari negeri-negeri kafir.
Dan orang yang tidak memperhatikan masalah busananya dan tidak memiliki keinginan kuat untuk menutup seluruh anggota tubuhnya ketika menghadap Tuhan ‘Azza wa Jalla bisa di katagorikan sebagai orang bodoh, atau mungkin malas dan cuek.
Mayoritas ulama’ bersepakat bahwa pakaian yang sesuai dengan syarat untuk menutup aurat wanita di dalam shalat adalah baju kurung beserta kerudung yang sekarang di desain sebagai mukenah.
Yang di maksud sebenarnya adalah menutup seluruh anggota badan dan kepala. Seumpama baju yang di pakai cukup longgar sehingga sisanya bisa digunakan untuk menutup kepalanya, maka hal itu juga dianggap cukup.
Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam kitab sahihnya, beliau berkata : ‘’Seandainya seluruh tubuh seorang wanita terbenam di dalam baju yang di pakai, maka hal itu telah di anggap mencukupi.’’    
Terkadang ada kaum wanita yang melakukan shalat, sedangkan sebagaian rambutnya, atau sebagian lengan dan betisnya masih terlihat. Maka dia wajib  mengulang shalatnya ketika waktunya masih tersisah ataupun sudah lewat.
Kaum wanita harus memperhatikan busana yang mereka pakai ketika shalat, bahkan juga ketika di luar shalat . Kebanyakan mereka hanya terlalu memperhatikan penutup anggota badan bagian atas , yang di maksud adalah kepala. Mereka menutup rapat rambut dan leher, akan tetapi tidak memperhatikan penutup anggota badan bagian di bawah kepala. Mereka memakai pakaian press-body dan mini yang memperlihatkan auratyang berada di bawah betis. Sedangkan anggota badan yang belum tertutup biasanya di beri stocking (kaos kaki panjang) berwarna kulit yang bisa menambah seorang wanita semakin menarik dan cantik.
Tidak jarang di antara mereka shalat dalam keadaan seperti itu. Hal yang seperti ini tidak boleh di kerjakan., karena mereka harus bergegas untuk menutup auratnya dengan sempurna seperti yang telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada para wanita Muhajirin. Ketika turun perintah untuk memakai kerudung para wanita Muhajirin langsung mengoyak pakaian dari bulu yang sedang mereka kenakan dan langsung di buat untuk kerudung. Akan tetapi Allah tidak menyuruh kaum wanita untuk menyobek pakaian mereka . Yang Allah anjurkan adalah untuk memanjangkan dan melonggarkan model bajunya. Dengan demikian , baju itu dapat menutupi semua anggota tubuhnya.  

Sumber : Paket Umroh

Sujud Di Atas Tanah Karbala


shalat sunah tarawih

            Tidak ada satupun hadist shahih yang menjelaskan tentang kesucian sujud di atas tanah karbala’. Lebih-lebih hadist yang menjelaskan keutamaan sujud di atas tanahnya, atau kesunahan mengambil kereweng untuk di gunakan alas sujud sebagaimana yang di kerjakan oleh orang-orang syi’ah dewasa ini. Seandainya memang itu benar-benar ibadah sunah, pasti akan masih lebih di utamakan untuk mengambil tanah dua masjid yang berada di Mekkah (Masjid al Haram) dan di masjid Madinah (Masjid Nabawi).

Perbuatan ini sebenarnya hanya bid’ah yang di ciptakan orang-orang syi’ah akibat dari kecintaan mereka yang ekstrim kepada ahl al bait (keturunan nabi) dan bekas-bekas peninggalan mereka. Anehnya, mereka menganggap rasio termasuk sumber syariat bagi mereka. Oleh karena itulah mereka bisa bebas menganggap sesuatu itu baik atau buruk menurut ukuran akal. Padahal mereka sendiri mengatakan bahwa sujud di atas tanah karbala’ memiliki keutamaan, itu termasuk dalam hadist-hadist yang di anggap batal secara rasional. 

Al Allamah Albani berkata: ‘’Aku telah mengomentari salah satu risalah yang mereka miliki, yakni karangan al Sayyid Abd al Ridha al Mar’asyi al Syahrasani yang berjudul al sujud ‘alaa  al turbah al Hasaniyah(sujud di atas tanah Husain). Di antaranya adalah sebagai berikut: ‘’telah datang sebuah riwayat bahwa sujud di atas tanah karbala’ adalah paling utama. Hal ini di sebabkan kamuliaan dan kesuciannya, sekaligus juga kesucian seorang syahid yang di makamkan di sana (al Husain, cucu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.)’’

‘’Telah di sebutkan juga hadist yang bersumber dari para imam keturunan Nabi yang suci ‘alaihim al salam bahwa sujud di atas tanah karbala’ bisa menerangi bumi sampai lapis tujuh dengan cahaya. Di sebutkan pula dalam riwayat lain bahwa sujud di sana bisa membakar hijab (penghalang) yang berjumlah tujuh. Di dalam riwayat lain di sebutkan pula bahwa Allah akan menerima shalat orang yang sujud di tas tanah karbala’ ketika di tempat lain tidak akan menerima. Riwayat lain menyebutkan bahwa sesungguhnya sujud di atas tanah makam al Husain dapat menerangi beberapa lapis bumi.’’ ( al sujud ‘alaa al turbah al Husainiyah halaman 15). 

Pengarang risalah tersebut tidak menyebutkan bukti-bukti yang benar dan akurat yang bisa menghilangkan keraguan ketika menukil hadist-hadist yang di duga dari para imam ahl al bait ‘anhum dan juga berasal dari ulama ahl al sunnah. Dengan demikian, para pembaca akan tahu bahwa hadist-hadist itu juga diriwayatkan di dalam kitab-kitab ulama kita ahl al sunnah. 

Namun sayangnya di dalam kitab tersebut malah di tulis: ‘’Hadist-hadist yang menerangkan tentang keutamaan tanah al Husainiyah (karbala’) dan kesuciannya tidak terbatas bersunber dari hadist-hadist para imam ‘alaihim al salam. Hadist-hadist seperti itu sebenarnya sudah sangat terkenal di dalam kitab-kitab babon di seluruh sekte keagamaan dalam islam dan berasal dari para ulama dan para perawi hadist di kalangan mereka. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh suyuthi di dalam kitabnya al khashaish al kubraa di dalam baab ikhbaar al Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bi qatl al husain ‘alaihi al salam.
Sumber : Paket Umroh

Shalat Tanpa Mengenakan Penutup Kepala (songkok)



shalat sunah awwabin

Boleh melakukan Shalat Tanpa Mengenakan Penutup Kepala (songkok) . Sebab kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita bukan untuk kaum pria. Namun demikian, di sunnahkan bagi setiap orang yang melakukan shalat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Di antara kesempurnaan busana shalat adalah dengan memakai ‘imamah(kain surban yang di ikatkan dikepala), songkok atau sebagainya yang biasa di kenakan di kepala ketika beribadah.

Tidak memakai penutup kepala tanpa udzur (keadaan terpaksa) makruh hukumnya. Terlebih ketika melakukan shalat fardhu, dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya dengan berjama’ah. (fatawaamuhammad rasyid ridha (V/1849) dan al synan wa al mubtadai ‘aat  halaman 69).

Al Albani berkata: ‘’Menurut pendapatku, sesungguhnya Shalat Tanpa Mengenakan Penutup Kepala (songkok) hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat di sunahkan jika seorang muslim melakukan shalat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah di sebutkan dalam hadist :’’ Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk di hadapi dengan berias diri. ‘’(permulaan hadist di atas adalah :’’ Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk di hadapi dengan berias diri.’’ 

Diriwayatkan oleh al thahawi di dalam syarh mas’aani al aatsaar (I/221), al Thabarani dan al Baihaqi di dalam al sunan al kubraa (II/236) dengan kualitas sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana yang di sebutkan dalam majma al Zawaaid (II/51). Lihat juga al silsilah al shahihah nomor 1369.

Tidak memakai tutup kepala bukan kebiasaaan baik yang di kerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai penutup kepala sebenarnya tradisi yang di kerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja di selundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengerjakan kebiasaan buruk dan sayangnya malah di ikuti oleh umat islam. Mereka telah mengesampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang di bungkus sangat halus yang tidak pantas untuk merusak tradisi umat islam dan juga tidak bisa di jadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai penutup kepala.

Adapun argumentasi yang memboleh membiarkan kepala tanpa tutup seperti yang di kemukakan oleh sebagian para kelompok pembela sunah di mesir adalah dengan mengqiaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah uasaha qias terburuk yang mereka lakukan dan yang pernah kita saksikan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syiar dalam agama dan termasuk dalam manasik yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya. 

Seandainya qias yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang mengatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. (tamaam al minnah fii al ta’liiq ‘alaa fiqh al sunnah halaman 164-165).

Sumber : Harga Umroh Termurah                                                                         
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               

Shalat Tanpa Memberi Tabir Penghalang


shalat wajib fardlu

Shalat Tanpa Memberi Tabir Penghalang penjelasan dari Umar radhiallau ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: ‘’ Janganlah kamu shalat kecuali di hadapan tabir. Dan janganlah kamu biarkan ada seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia enggan untuk di cegah, maka perangilah dia. Karena sesungguhnya orang itu di sertai teman (setan). ‘’(Diriwayatkan oleh muslim di dalam kitab shahihnya nomor 260 dan Ibn Khuzaimah di dalam al sahihnomor 800. Sedangkan redaksi hadist di atas menurut riwayat al Hakim di dalam kitab al mustadrak (I/251). Diriwayatkan juga oleh al Baihaqi di dalam kitab al sunsn sl kubraa (II/268).

Dan penjelasan mengenai Shalat Tanpa Memberi Tabir Penghalang dari  Abu Sa’id al Khuzdri ra., dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. bersabda: ‘’Jika seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia menghadap tabir penghalang dan hendaklah dia mendekati tabir tersebut. Janganlah membiarkan seorangpun di antara dirinya dan tabir. Jika masih ada seseorang yang lewat, maka hendaklah dia memeranginya. Karena sesungguhnya dia itu adalah setan. ‘’(Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah di dalam kitab al mushannaf (I/279), Abu Dawud di dalam kitab al sunannomor 697, Ibn Majah di dalam kitab al sunan nomor 954. 

Di dalam riwayat di sebutkan: ‘’ Karena sesungguhnya setan lewat di antara dia dan tabir penghalang.’’

Di dalam riwayat lain di sebutkan: ‘’Apabila salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, hendaklah dia menutupi (arah depannya) dengan tabir penghalang. Selain itu hendaklah dia mendekati tabir tersebut. Karena setan akan lewat di hadapannya.’’ (Riwayat hadist ini sesuai dengan redaksi yang diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah.

Termasuk hal-hal yang memperkuat kewajiban meletakkan tabir penghalang ketika shalat adalah sebagai berikut: 

Meletakkan tabir penghalang di hadapan orang yang shalat bisa menghindari batalnya shalat, baik karena ada wanita baligh yang lewat, keledai atau anjing hitam ( yang di maksud adalah setan), Yang lewat di hadapannya. Ini sebagaimana yang telah di jelaskan dalam hadist-hadist berkualitas sahih yang menerangkan tentang larangan lewat di hadapan orang yang shalat dan hukum-hukum fikih lain yang masih ada kaitan erat dengan masalah tabir penghalang. (Tamaam al minnah 300) 

Oleh karena itulah para ulama al salaf al sahih (orang salih jaman dahulu) radhiallahu ‘anhum selalu meletakkan tabir penghalang ketika sedang mengerjakan shalat. Semua perkataan dan perbuatan mereka memberikan isyarat  pada kita untuk meletakkan tabir penghalang, bahkan bersifat perintah. Petunjuk mereka itu juga berbentuk pengingkaran terhadap orang yang shalat tanpa meletakkan tabir penghalang di hadapannya.

Di dalam atsar (berita yang berasal dari sahabat) ini tidak ada perbedaan baik itu di padang pasir maupun di dalam gedung. Begitu juga dengan keterangan di dalam hadist Nabi yang terdahulu dan perbuatan yang di contohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Semua itu semakin memperkuat hukum meletakkan tabir penghalang ketika shalat, sebagaimana yang telah di sebutkan oleh al Syaikhani.’’(Nail al awthaar(III/6). 

Sumber : Layanan Umroh

Shalat Tanpa Memberi Tabir Penghalang


shalat wajib fardlu

Shalat Tanpa Memberi Tabir Penghalang penjelasan dari Umar radhiallau ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: ‘’ Janganlah kamu shalat kecuali di hadapan tabir. Dan janganlah kamu biarkan ada seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia enggan untuk di cegah, maka perangilah dia. Karena sesungguhnya orang itu di sertai teman (setan). ‘’(Diriwayatkan oleh muslim di dalam kitab shahihnya nomor 260 dan Ibn Khuzaimah di dalam al sahih nomor 800. Sedangkan redaksi hadist di atas menurut riwayat al Hakim di dalam kitab al mustadrak (I/251). Diriwayatkan juga oleh al Baihaqi di dalam kitab al sunsn sl kubraa (II/268).

Dan penjelasan mengenai Shalat Tanpa Memberi Tabir Penghalang dari  Abu Sa’id al Khuzdri ra., dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. bersabda: ‘’Jika seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia menghadap tabir penghalang dan hendaklah dia mendekati tabir tersebut. Janganlah membiarkan seorangpun di antara dirinya dan tabir. Jika masih ada seseorang yang lewat, maka hendaklah dia memeranginya. Karena sesungguhnya dia itu adalah setan. ‘’(Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah di dalam kitab al mushannaf (I/279), Abu Dawud di dalam kitab al sunan nomor 697, Ibn Majah di dalam kitab al sunan nomor 954. 

Di dalam riwayat di sebutkan: ‘’ Karena sesungguhnya setan lewat di antara dia dan tabir penghalang.’’

Di dalam riwayat lain di sebutkan: ‘’Apabila salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, hendaklah dia menutupi (arah depannya) dengan tabir penghalang. Selain itu hendaklah dia mendekati tabir tersebut. Karena setan akan lewat di hadapannya.’’ (Riwayat hadist ini sesuai dengan redaksi yang diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah.

Termasuk hal-hal yang memperkuat kewajiban meletakkan tabir penghalang ketika shalat adalah sebagai berikut: 

Meletakkan tabir penghalang di hadapan orang yang shalat bisa menghindari batalnya shalat, baik karena ada wanita baligh yang lewat, keledai atau anjing hitam ( yang di maksud adalah setan), Yang lewat di hadapannya. Ini sebagaimana yang telah di jelaskan dalam hadist-hadist berkualitas sahih yang menerangkan tentang larangan lewat di hadapan orang yang shalat dan hukum-hukum fikih lain yang masih ada kaitan erat dengan masalah tabir penghalang. (Tamaam al minnah 300) 

Oleh karena itulah para ulama al salaf al sahih (orang salih jaman dahulu) radhiallahu ‘anhum selalu meletakkan tabir penghalang ketika sedang mengerjakan shalat. Semua perkataan dan perbuatan mereka memberikan isyarat  pada kita untuk meletakkan tabir penghalang, bahkan bersifat perintah. Petunjuk mereka itu juga berbentuk pengingkaran terhadap orang yang shalat tanpa meletakkan tabir penghalang di hadapannya.

Di dalam atsar (berita yang berasal dari sahabat) ini tidak ada perbedaan baik itu di padang pasir maupun di dalam gedung. Begitu juga dengan keterangan di dalam hadist Nabi yang terdahulu dan perbuatan yang di contohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Semua itu semakin memperkuat hukum meletakkan tabir penghalang ketika shalat, sebagaimana yang telah di sebutkan oleh al Syaikhani.’’(Nail al awthaar(III/6). 

Sumber : Layanan Umroh

Shalat Di Tempat Yang Di Atasnya Ada Lukisan


shalat sunah witir

Penjelasan mengenai Shalat Di Tempat Yang Di Atasnya Ada Lukisan dari Aisyah ra. Dia berkata: ‘’Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Shalat menggunakan khamisah (jenis baju yang terbuat dari bulu) yang ada gambarnya. Setelah selesai mengerjakan shalat, beliau bersabda: ‘’Bahwa khamisah ini kepada Abu jahm ibn Hudzaifah. Dan bawah kepadaku anbijaniyyah (jenis baju tebal dan kasar) (banju tebal yang tidak ada gambarnya, berbeda dengan khamisah yang di kembalikan oleh beliau). Karena sesungguhnya khamisah telah mengganggu konsentrasiku di dalam shalat tadi. (Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam kitab sahihnya nomor 373, muslim di dalam kitab sahihnya nomor 556, al Nasaa’i di dalam kitab al mujtabaa (II/72).

Mengenai Shalat Di Tempat Yang Di Atasnya Ada Lukisan berkata Al Shan’ani : ‘’hadist tersebut merupakan dalil bahwa segala sesuatu yang dapat merusak konsentrasi dalam shalat dan juga bisa memalingkan konsentrasi hati baik berupa ukiran atau benda lainnya adalah makruh hukumnya.’’ (subul al salaam)

Kemudian rahimahullah ta’alaa berkata:’’ Yang paling utama adalah mengikuti semua perbuatan dan perkara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebab barang siapa yang taat kepada beliau maka akan mendapatkan petunjuk dan di cintai oleh Allah ‘Azza wa jalla. Dan barang siapa tidak mentaati dan tidak mengikuti ajaran beliau, maka dia akan jauh dari kebenaran menurut ukuran kejauhannya dari petunjuk Nabi,’’ (fataawaa al ‘izz ibn Abd al salam halaman 68).

Al Marghinani al Hanafi menyebutkan beberapa tingkatan makruh untuk melakukan shalat di tempat yang ada gambarnyadi lihat dari tempat gambar itu berada. Dia berkata: ‘’Yang paling makruh adalah apabila gambar itu ada di hadapan orang yang sedang shalat, kemudian gambar yang ada di atas kepalanya, di sebelah kanannya, di samping kirinya dan yang terakhir di belakangnya.’’ (al hidaayah(I/295-beserta syarh fath al Qadiir)

Inti permasalahannya terleyak pada rasa hormat kepada Allah dan merusak konsentrasi. Oleh sebab itulah shalat menghadap kepada lukisan hukumnya makruh, karena membuatnya memperhatikan lukisan tersebut dan merusak konsentrasi shalatnya. Bahkan juga di makruhkan menghadap segala sesuatu yang bisa merusak konsentrasi shalat.’’

Berdasarkan pada inti permasalahan itulah para ulama ahli fikih menetapkan hukumnya makruh untuk shalat orang yang menghadap gambar, baik itu berada di dinding, atau di tempat yang lain. Karena hal itu di anggap ada kesamaannyadengan menyembah berhala dan patung. ‘’(lihat kasysyaaf al Qanaa’ (I/432), Al mughni (II/342, Tafsir al Qurthubi (X/48).

Begitu juga shalat di atas sajadah yang ada gambarnya. Hal itu juga ada kemiripan dengan menyembah patung ataupun berhala. Bersujud kepadanya berarti sama dengan memuliakannya. (kasysyaaf al Qanaa’ (I/325), Badaa’i al shaana’i (I/337) dan al fataawaa al hindiyah (I/107). Bahkan sebagian ulama menegaskan bahwa makruh memakai sajadah yang ada gambarnya sekalipun di injak.(al inshaaf(I/474) dan kasysyaaf al Qanaa’(I/325). 
Sumber : Layanan Umroh

Shalat Di Atas Pemakaman Atau Menghadapnya



shalat sunah istisqa

Penjelasan mengenai Shalat Di Atas Pemakaman Atau Menghadapnya dari jandab ibn Abdullah al Bajali ra., dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bersabda tentang lima hal sebelum beliau wafat: ‘’Sesungguhnya aku akan cuci tangan kepada Allah jika kalian menjadikan aku sebagai khalil (sahabat karib yang di jadikan tumpuan segala harapan). Karena sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai khalil sebagaimana dia telah mengangkat Ibrahim menjadi khalil. Seumpama aku mengambil khalil, apsti aku akan memilih Abu Bakar sebagai khalil. Ingatlah ! Sesungguhnya umat sebelum kalian telah menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid (tempat shalat). Ingatlah ! janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena sesungguhnya aku telah melarang kalian untuk melakukan hal itu.’’ (Diriwayatkan oleh muslim di dalam kitab sahihnya nomor 532 dan al Nasaa’i didalam kitab al sunan al kubraa sebagaimana juga terdapat dalam al syraaf (II/442-443).

Penjelasan selanjunya mengenai Shalat Di Atas Pemakaman Atau Menghadapnya dari Ibn Mas’ud ra., bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Bersabda: ‘’Sesungguhnya orang yang paling buruk adalah nereka yang hidup ketika hari kiamat dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.’’ (Diriwayatkan oleh Ahmad  di dalam al musnad (I/435),Ibn Abi Syaibah di dalam kitab al mushannaf (III/345), Ibn Khuzaimah di dalam kitab al shahih nomor 789. Ibn Hibban di dalam kitab al shahih nomor 340 dan 341.

Haram untuk menjadikan kuburan sebagai tempat shalat. Pendapat ini tidak di pertentangkan oleh para ulama yang terkenal. Mayoritas ulama menyebutkan tentang larangan hal tersebut sebagai konsekuensi untuk mengikuti hadist-hadist yang telah membahasnya. Tidak perlu di ragukan lagi bahwa hal itu adalah haram.

Masjid yang di bangun di atas tanah pemakaman harus di bongkar. Dan masalah ini tidak di perdebatkan lagi di kalangan para ulama yang terkenal. Makruh hukumnya untuk shalat di atasnya, tanpa ada kontroversi di kalangan mereka lagi. Bahkan menurut al imam Ahmad shalat yang di laksanakan di anggap tidak sah, kerena adanya larangan serta laknatan yang di sebutkan dalam hadist.

Begitu juga shalat di sekitar pemakaman, hukumnya juga makruh, sekalipun tidak di bangun masjid di sana. Karena setiap tempat yang di gunakan untuk shalat namanyaadalah masjid (tempat sujud), sekalipun tidak ada wujud bangunannya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Telah melarang perbuatan itu dengan sabda beliau: ‘’ Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula kalian shalat menghadapnya !’’ (Diriwayatkan oleh muslim di dalam kitab shahihnya nomor 972).

Menurut madzab al Imam Ahmad, tidak sah shalat yang di kerjakan di antara tanah pemakaman. Sedangkan menurut imam yang lain hukumnya makruh.

Ketahuilah ! Sesungguhnya di kalangan ulama ahli fikih ada yang menyakini bahwa sebab kemakruhan shalat di kuburan bukan karena di duga atau di khawatirkan tanahnya najis. Sebab tanah yang najis memang tidak boleh di gunakan untuk shalat, baik itu tanah makam atau bukan. Jadi sekali lagi bukan di karenakan tanahnya najis. Akan tetapi maksud ulama dari larangan shalat di makam adalah karena di khawatirkan makam itu akan di jadikan berhala dan di jadikan obyek sesembahan.


Shalat Dengan Menggunakan Busana Mu’ashfar



shalat sunah tasbih

Yang di maksud Mu’ashfaradalah baju yang telah di celup dengan pewarna. Ada yang mengatakan bahwa yang di maksud dengan Mu’ashfar adalah baju yang telah di celup setelah kainnya di pintal. Lain halnya jika proses pencelupan itu di lakukan ketika masih berupa benang tenunan, maka hal itu tidak mengapa-pent).

Abdullah Bin Umar ra.,  berkata: bahwa telah di perlihatkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dua potong baju mu’ashfar (baju yang telah di celup dengan pewarna). Lantas beliau berkata: ‘’sesungguhnya baju ini ternasuk bajunya orang-orang kafir. Oleh karena itu janganlah kalian memakai.’’(Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab al libaas wa al ziinah: baab al nahy ‘an labs al tsaub al mu’ashfar (III/1647) nomor 2077, Ahmad di dalam kitab al musnad (II/162;207;211). Ibn sa’ad di dalam kitab al tabaqaat al kubraa (IV/265). Al Hakim di dalam kitab al mustadrak (IV/190). 

Di dalam sebuah riwayat di sebutkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Berkata kepada orang:’’ Apakah ibumu menyuruhmu untuk ini ? ‘’dia berkata: ‘’Aku akan mencuci ke duanya.’’ Rasulullah bersabda:,’’tidak akan tetapi bakar saja ke duanya !’’

Di dalam sebuah riwayat di sebutkan bahwa ada sebuah raithah (pakaian luar sejenis mantel) di lumuri dengan pewarna. Lantas beliau berkata: ‘’raithah apa yang sedang kamu bawah ini ?’’ Aku mengetahui bahwa beliau menyenanginya. Mka aku mendatangi keluargaku, mereka tengah menyalakan api di dapur yang mereka miliki. Aku melemparkan raithah itu ke dalam dapur api. Keesokan harinya aku datang kepada Rasululla. Beliau bersabda: ‘’Wahai Abdullah, apa yang kamu perbuat dengan raithah(mu) ?’’Aku menceritakan apa yang telah aku perbuat. Beliau kembali bersabda: ‘’Bukankah kamu masih memakaikannya kepada sebagaian anggota keluargamu ? baju itu tidak apa-apa asalkan untuk kaum wanita. ‘’(Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab al musnad (II/196), Abu Dawud di dalam kitab al sunan nomor 4066, dan Ibn majh di dalam kitab al sunan nomor 3603, dan sanad hadist ini berkualitas hasan)

Al Baihaqi berkata: ‘’Riwayat seperti itu juga ada selain yang bersumber dari Ali. Sebagaimana yang di tunjukkan ole hadist riwayat Abdullah ibn ‘Amr yang terdahulu. ‘’Al Baihaqi kembali berkata: ‘’seandainya berita ini sampaidi dengar oleh al syafi’i, pasti dia akan mengikut pendapat ini sebagai bukti kepatuhannya kepada sunah sebagaimana yang sering beliau kerjakan.’’(fath al baari (X/304), syarh al Nawawi ‘alaa muslim (XIV/54). Dia memaparkan perkataan al Baihaqi sebagai berikut: ‘’ Adapun al Baihaqi rahimahullah membahas masalah ini secara tuntas di dalam kitab nya yang berjudul Ma’rifahal sunan. Dia telah mengutib perkataanya sebagaimana telah di sebutkan di atas.  

Muslim juga menyebutkan: ‘’Al Baihaqi berkata bahwa baju ayng di celup dengan za’faran hukumnya makruh menurut sebagaian ulama salaf. Pendapat ini juga di pegang oleh Abu Abdillah al Halimi . Sekelompok ulama menganggapnya sebagai rukhshah. Sedangkan mengikuti keterangan sunah jelas lebih baik dari pada mengikuti pendapat para ulama. Wa Allahu a’lam .

Shalat Dengan Memakai Busana Tidur



shalat sunah istikharah

Disini saya akan menerangan hukum shalat dengan menggunakan Busana Tidur Al Bukhari telah meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dengan sanad yang berasal dari Abu Hurairah ra., dia berkata: ‘’seorang laki-laki berdiri menghadap Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Lantas dia bertanya kepada beliau mengenai shalat dengan hanya mengenakan satu potong baju. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalalam bersabda: ‘’Apakah berat untuk masing-masing kalian mencari dua potong busana ?!’’

Kemudian seorang pria itu bertanya kepada Umar ra. Umar menjawab: ‘’Jika Allah menciptakan kelapangan, maka ciptakanlah kelapangan pula (ketika shalat menghadap-Nya). Hendaklah seseorang yang shalat dengan mengenakan sarung dan pakaian, dengan sarung dan gamis, dengan sarung dan qaba’ (sejenis pakaian luar), dengan celana dan pakaian, dengan celana dan qaba’, dengan celana pendek dan qaba’, atau dengan celana pendek dan gamis.’’(Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam kitab al shalah: baab al shalah fii al qamiishwa al saraawiil wa al tubbaan wa al qabaa’ (I/475) nomor 365. Malik di dalam kitab al muwaththa’ (I/14/31). Muslim di dalam kitab al shahiih nomor 515. Abu Dawud di dalam kitab al sunan nomor 625. Al Nasaa’iy di dalam kitab al mujtabaa (II/69). Ibn Majah di dalam kitab al sunan nomor 1047. Al Humaidiy di dalam kitab al musnad nomor 937. Ahmad di dalam kitab al musnad (II/238-239). Al Thayalisiy di dalam kitab al musnadnomor 355. Al Thahawiy di dalam kitab syarh ma’aaniy al aatsar (I/379).   

Abdullah Ibn Umar pernah menyaksikan Nafi’ sedang mengerjakan shalat di sebuah tempat sepi seorang diri dengan hanya memakai satu potong busana. Ibn Umar berkata kepadanya: ‘’Bukankah aku memberimu dua potong busana? ‘’ Nafi’ menjawab. ‘’Benar’’ Ibn Umar kembali berkata: ‘’Apakah kamu hanya akan memakai satu potong busana ketika keluar ke pasar ?’’ Nafi’ menjawab: ‘’Tidak’’. Lantas Ibn Umar berkat: ‘’Alllah lebih berhak untuk melihat kita berdandan. ‘’(Diriwayatkan oleh al thahawiy di dalam kitab syarh ma’aaniy al Aatsaar (I/377) dan 378). Lihat juga tafsir al Qurthhubiy(XV/239) dan al mughniy (I/621)   

Begitu juga dengan orang yang melakukan shalat dengan mengenakan baju tidur. Hampir bisa di pastikan bahwa dia akan merasa malu untuk memakai baju tersebut ketika pergi ke pasar, karena bahannya yang begitu tipis dan transparan.

Ibn Abd al Barr berkata di dalam kitab al tamhiid (VI/369): ‘’Sesungguhnya para ulama ahli ilmu merasa malu untuk memakai sepotong busana saja ketika melakukan shalat. Mereka selalu merias diri dengan cara memakai baju terbaik yang mereka milik, menyemprotkan parfum dan menggunakan siwak.’’

Para ahli hukum islam (fikih) membahas masalah penutupan aurat secara panjang lebar dalam bab syarat sah shalat. Mereka berkata sebagai berikut: ‘’Orang yang menutup auratnya di syaratkan untuk memilih bahan yang tebal. Tidak cukup apabila memakai bahan tipis yang bisa menunjukkan warna kulit luar.’’(lihat al diin al khaalish(II/101-102), al majmu’ (III/170), Al mughniy (I/617). 

Untuk lebih jelasnya silahkan klik disini 

Sumber PAKET UMROH TERMURAH

Shalat Dengan Busana Yang Penuh Dengan Gambar


shalat sunah malam

Penjelasan mengenai Shalat Dengan Busana Yang Penuh Dengan Gambar dari Aisyah ra. ,beliau berkata: ‘’Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Mengerjakan shalat dengan mengenakan khamishah (sejenis baju yang terbuat dari bulu) yang ada gambarnya. Ketika telah mengerjakan shalat, beliau bersabda: ‘’Pergilah kalian kepada abu jahm ibn hudzaifah dengan khamishah ini. Dan bawahlah kepada anbijaniyyah (sejenis baju yang tebal dan kasar). Karena sesungguhnya khamishah tadi telah mengganggu konsentrasiku ketika shalat.’’(Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam kitab al shalah: baab idzaa shallaa fii tsaubihi lahuu a’laam (I/482-483) nomor 373, muslim di dalam kitab al masaajid wa ma waadhi’ al shalah: baab karaahiyah al shalah fii tsaub lahuu a’laam (I/391) nomor 556, al Nasaa’iy di dalam kitab al shalah: baab al rukhshah fii al shalah fii khamisah lahaa a’laam (II/72).

Yang di maksud dengan anbijaniyyahyang di minta Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adalah sejenis baju tebal yang tidak memiliki gamabar (baju polos). Berbeda dengan khamisah yang di kembalikan oleh beliau, ada gambar atau lukisan di kainnya. 

Al Thayyibi berkata: ‘’ Di dalam hadist yang membicarakan masalah baju anbijaniyyah dapat di ketahui bahwa gambar atau sesuatu yang tampak lainnya (semacam asesoris-pen). Bisa mempengaruhi dalam hati yang bersih dan jiwa yang suci seperti yang di miliki Rasulullah. Bagaimana dengan ahti dan jiwa yang tidak seperti itu.’’ (lihat ‘Umdah al Qaari’ (IV/94) dan fath al baari (I/483). 

Anas ra, beliau berkata: ‘’Dulu Aisyah pernah memiliki kain tipis yang bergambar yang di buat tutup ( tabir) di samping rumahnya. Lantas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bersabda kepadanya: ‘’Jauhkanlah dariku karena dia selalu tergambar dan terlintas kepadaku ketika sedang shalat.’’(Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam kitab al shalah: baab in shallaa fii tsaub mushallab aw thashaawiir hal tufsidu shalatahu(I/484) nomor 374 dan di dalam kitab al libaas: baab karaahiyyah al shalah fii al tashaawiir (X/391) nomor 5959.

Hadist Anas ra di atas menunjukkan bahwa shalat denganmengenakan baju bergambar hukumnya makruh.

Segi argumentatif dari hadist tersebut adalah sebagaimana yang di katakan oleh al Qasthallani: ‘’Jika gambar yang ada di hadapan bisa mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat, lebih-lebih apabila gambar itu di pakai ,’’( irsyaad al saariy ( VIII/484).  

Al Bukhari juga mengkomentari hadist Anas di atas dalam baab in shallaa fii tsaub mushallab aw tasaawiir hal tufsidushalaatahu wa maa nuhiyah ‘andzaalik (bab jika seorang shalat memakai baju yang bergambar, apakah itu bisa merusak shalatnya dan beberapa hal yang di larang). (shahih al bukhari(I/484-begitu juga dalam al fath).

Para ulama sendiri masih memperdebatkan tentang status larangan terhadap sesuatu. Apabila makna larangan itu menunjuk pada materinya sendiri,maka akan menyebabkan kerusakan materi tersebut. Namun jika makna larangan tersebut bukan untuk materi tersebut, maka hal itu akan berkonsekuensi pada kemakruhan atau bisa juga kerusakan materi yang di maksud. Dalam masalah ini masih ada perbedaan di antara para ulama. (lihat ‘Umdah al Qaari’ (IV/95) dan fath al baari (I/484).

Sumber SMBC UMROH PAKET MURAH

Shalat Dengan Busana Yang Penuh Dengan Gambar


shalat sunah malam

Penjelasan mengenai Shalat Dengan Busana Yang Penuh Dengan Gambar dari Aisyah ra. ,beliau berkata: ‘’Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Mengerjakan shalat dengan mengenakan khamishah (sejenis baju yang terbuat dari bulu) yang ada gambarnya. Ketika telah mengerjakan shalat, beliau bersabda: ‘’Pergilah kalian kepada abu jahm ibn hudzaifah dengan khamishah ini. Dan bawahlah kepada anbijaniyyah (sejenis baju yang tebal dan kasar). Karena sesungguhnya khamishah tadi telah mengganggu konsentrasiku ketika shalat.’’(Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam kitab al shalah: baab idzaa shallaa fii tsaubihi lahuu a’laam (I/482-483) nomor 373, muslim di dalam kitab al masaajid wa ma waadhi’ al shalah: baab karaahiyah al shalah fii tsaub lahuu a’laam (I/391) nomor 556, al Nasaa’iy di dalam kitab al shalah: baab al rukhshah fii al shalah fii khamisah lahaa a’laam (II/72).

Yang di maksud dengan anbijaniyyahyang di minta Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adalah sejenis baju tebal yang tidak memiliki gamabar (baju polos). Berbeda dengan khamisah yang di kembalikan oleh beliau, ada gambar atau lukisan di kainnya. 

Al Thayyibi berkata: ‘’ Di dalam hadist yang membicarakan masalah baju anbijaniyyah dapat di ketahui bahwa gambar atau sesuatu yang tampak lainnya (semacam asesoris-pen). Bisa mempengaruhi dalam hati yang bersih dan jiwa yang suci seperti yang di miliki Rasulullah. Bagaimana dengan ahti dan jiwa yang tidak seperti itu.’’ (lihat ‘Umdah al Qaari’ (IV/94) dan fath al baari (I/483). 

Anas ra, beliau berkata: ‘’Dulu Aisyah pernah memiliki kain tipis yang bergambar yang di buat tutup ( tabir) di samping rumahnya. Lantas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bersabda kepadanya: ‘’Jauhkanlah dariku karena dia selalu tergambar dan terlintas kepadaku ketika sedang shalat.’’(Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam kitab al shalah: baab in shallaa fii tsaub mushallab aw thashaawiir hal tufsidu shalatahu(I/484) nomor 374 dan di dalam kitab al libaas: baab karaahiyyah al shalah fii al tashaawiir (X/391) nomor 5959.

Hadist Anas ra di atas menunjukkan bahwa shalat denganmengenakan baju bergambar hukumnya makruh.

Segi argumentatif dari hadist tersebut adalah sebagaimana yang di katakan oleh al Qasthallani: ‘’Jika gambar yang ada di hadapan bisa mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat, lebih-lebih apabila gambar itu di pakai ,’’( irsyaad al saariy ( VIII/484).  

Al Bukhari juga mengkomentari hadist Anas di atas dalam baab in shallaa fii tsaub mushallab aw tasaawiir hal tufsidushalaatahu wa maa nuhiyah ‘andzaalik (bab jika seorang shalat memakai baju yang bergambar, apakah itu bisa merusak shalatnya dan beberapa hal yang di larang). (shahih al bukhari(I/484-begitu juga dalam al fath).

Para ulama sendiri masih memperdebatkan tentang status larangan terhadap sesuatu. Apabila makna larangan itu menunjuk pada materinya sendiri,maka akan menyebabkan kerusakan materi tersebut. Namun jika makna larangan tersebut bukan untuk materi tersebut, maka hal itu akan berkonsekuensi pada kemakruhan atau bisa juga kerusakan materi yang di maksud. Dalam masalah ini masih ada perbedaan di antara para ulama. (lihat ‘Umdah al Qaari’ (IV/95) dan fath al baari (I/484).

Sumber SMBC UMROH PAKET MURAH

Menyingsingkan lengan busana ketika melakukan shalat




shalat sunah hajat

Di antara kesalahan-kesalahan yang di perbuat ketika shalat adalah menyingsingkan baju sebelum mulai melakukan shalat.

Ibn Abbas ra, berkata : Rasulullah saw pernah bersabda :’’ Aku di perintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan dan di larang menjadikan satu baju dan rambut menjalinnya.’’ Diriwayatkan oleh muslim di dalam kitab al shalah : bab a’dhaa’ al sujud wa al nahyu ‘an kaff al sya’rwa al tsabu wa ‘aqsh al ra’sfii al shalah(I/354) nomor 490, al nasaa’iy di dalam kitab al shalah : bab al nahy’an kaffal sya’r fii al sujuud (II/215), Ibn majah di dalam kitab iqaamaah al shalah : bab kaff al sya’r wa al tsawab fii al shalah (I/331) nomor 1040,

Al Imam Ahmad berkata mengenai orang shalat yang menyingsingkan lengan bajunya: ‘’ Jika memang sebelum shalat sudah di singsingkan, atau memang kebiasaannya adalah menyingsingkan lengan baju sehingga dia melakukan shalat juga seperti itu, mak tidak mengapa. Akan tetapi jika dia melakukan itu hanya kerena ingin mengumpulkan rambut dan bajunya, maka hal itu adalah tidak baik.’’ ( al mudawwanah al kubraa (I/96)

Al Nawawi berkata : ‘’larangan untuk menyingsingkan baju adalah makruh tanzih. Jika ada seseorang yang shalat dalam keadaan seperti itu, maka shalatnya tetap sah, hanya saja dia telah melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Ibn al mundzir bercerita tentang pengulangan pendapat tersebut dari al hasan al bashri.’’ ( Syarh shahih muslim (IV/209) 

Padahal larangan yang datang di dalam hadist terdahulu memberikan konsekuensi hukum haram. Sedangkan madzhab mayoritas tidak menganggapnya sebagai penyebab batalnya shalat. Namun demikian mereka tetap berkat : ‘’larangan itu sebenarnya berkonsekuensi pada hukum makruh tanzih, bukan hukum haram. Seumpama ada seseorang yang shalat hanya mengenakan satu baju yang bisa menutup auratnya, sedangkan kedua bahunya tidak tertutup, maka shalat yang di lakukannya tetap sah namun disertai hukum makruh. Tidak perduli apakah dia sebenarnya mampu untuk menutup bahunya ataukah tidak.’’ ( syarh al nawawi ‘alaa shahiih muslim (IV/232).

Dinukil pula pendapat tentang pelarangan untuk tidak menutup bahu ketika shalat dari Ibn Umar, kemudian dari thaawus dan al nakha’i. Ada juga riwayat lain yang bersumber dari Ibn wahab dan Ibn jarir tentang pelarangannya.

Al Qadhi berkata :’’ Telah di kutib dari ahmad bahwa sebenarnya menutup bahu bukanlah syarat dalam shalat. Dasarnya adalah dari riwayat Mutsanna yang bersumber dari Ahmad mengenai masalah orang shalat yang memakai celana, sedangkan bajunya hanya menutup salah satu bahunya dan bahu yang lain tetap terbuka. Perbuatan seperti ini hukumnya makruh. Dia ditanya : ‘’Apakah dia disuruh untuk mengulang shalatnya?
Namun jawaban Al Qadhi di atas masih mengandung pengertian lain. Al Qadhi berpendapat orang tersebut tidak perlu mengulang shalatnya karena dia telah menutup salah satu pundaknya. Maka beliau menganggap cukup ketika salah satu dari kedua bahunya telah ditutup.

Sumber UMROH MURAH SMBC